![]() |
Ramon Damora. (Ist) |
Oleh: Ramon Damora
Kasihan, karena dalam tulisan itu, Ady seolah menampilkan dirinya sebagai korban dari dua kutub: polisi dan pers.
Geli, karena ia tergesa-gesa menyematkan kesalahan etik kepada penguji Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang, kalau tak salah tangkap, mungkin sedang dialamatkan kepada saya.
Tulisan kecil ini bukan sekadar klarifikasi personal. Tuduhan Ady adalah pintu masuk yang baik untuk menelusuri hubungan problematik antara pers dan aparat penegak hukum di Indonesia, antara pewarta dengan sebuah kasus penahanan, antara pena dan borgol.
Ady merasa diberitakan secara tidak adil. Ia menyebut tidak pernah dikonfirmasi dan narasumber dari Polda Kepri disebutnya tidak pernah memberi keterangan resmi perihal kasus yang menimpanya.
Keterangan terakhir diperoleh langsung dari pejabat Polda Kepri terkait, setelah Ady melayangkan protes kepadanya. Sedemikian penting protes itu, bahkan sang pejabat polda dikisahkan sampai membuka lebar-lebar ponsel pribadinya di hadapan Ady, demi memperlihatkan bukti setidaknya ada 18 wartawan terekam meminta klarifikasi, namun si perwira mengaku bergeming.
Alasan pejabat Polda ini kepada Ady: bukan tupoksinya menjawab wartawan. Anehnya, pejabat yang dimaksud justru pernah tercatat aktif memberikan keterangan pers dalam kasus hukum lain.
Dalam pemberitaan Detik.com edisi 20 Agustus 2024, pejabat yang sama, berpangkat sama, tampil sebagai narasumber dalam berita berjudul “Polda Kepri Tangkap Oknum Pengacara Diduga Curi Uang Klien Rp 8,9 Miliar.”
Pertanyaannya: kenapa dalam kasus Ady, sang pejabat Polda Kepri memilih bungkam? Tidak ada yang tahu. Ketidakkonsistenan sikap itu menyumbang ambiguitas yang membuat berita jadi bergerak tanpa kendali narasi resmi.
Namun apakah karena itu berita harus dihentikan? Tentu tidak. Dalam hukum pers, tidak ada keharusan mutlak bahwa jurnalis hanya boleh menulis berdasarkan konferensi pers resmi.
Prinsip akuntabilitas publik justru mendorong wartawan untuk mencari dan menampilkan informasi secara mandiri, selama tetap memegang teguh prinsip verifikasi dan keberimbangan.
Selanjutnya Ady menulis:
“Saya tidak pernah diwawancara dan tidak pernah memberikan keterangan kepada wartawan, karena itu bukan Tupoksi saya, tapi Tupoksinya Humas. Kalau itu bisa dilaporkan langsung ke Dewan Pers, Pak. Biar mereka tidak mengarang berita. Karena semua pemberitaan dari Humas,” tegas pejabat Polda Kepri itu kepada saya (Ady Indra Pawennari - Pen).
Saya penasaran, dalam suasana private seperti apa dialog semacam ini terjadi? Ketika seorang pejabat kepolisian lebih memilih membela diri secara informal kepada pihak yang pernah ia tahan—alih-alih membuat pernyataan resmi—maka kepercayaan publik terhadap institusi Polri bisa tergerus.
Pejabat Polda Kepri tersebut menempatkan dirinya dalam risiko digunakan sebagai alat untuk menyerang pers.
Dalam salah satu fragmen yang dikutip Ady, ia menganggap rekaman suara dari pejabat Polda Kepri sebagai bentuk komunikasi tertutup, semestinya tidak bisa dikutip.
Ingat, off the record bukan mantra sepihak. Itu adalah kesepakatan dua arah. Bila tidak pernah disepakati bahwa pembicaraan bersifat tertutup, maka wartawan tidak otomatis melanggar etik jika menggunakan keterangan tersebut.
Apalagi jika rekaman itu beredar di kalangan wartawan, dikutip secara hati-hati, dan menyebut narasumber institusional tanpa menebar opini.
Inilah yang tampaknya gagal dipahami Ady: jurnalisme tidak tunduk pada perasaan personal, melainkan pada prosedur verifikasi dan tanggung jawab publik.
Saya mengikuti diskusi di grup WhatsApp wartawan PWI Kepri saat kabar penahanan Ady beredar. Diskusi itu dipenuhi tanya: mengapa Polda Kepri sedemikian terkunci untuk kasus Ady Indra Pawennari? Mengapa tidak seperti biasanya, rajin mengirim rilis dan ekspos kasus?
Faktanya, Ady telah ditahan lebih dari sepekan sebelum berita pertama kali muncul. Wartawan bergerak setelah fakta itu terbongkar. Upaya konfirmasi sudah dilakukan ke berbagai pihak, termasuk instansi kepolisian.
Maka ketika rekaman suara pejabat Polda Kepri didapat dan terdengar jelas, tanpa satu pun frasa “off the record”, jurnalis menganggapnya layak kutip. Itu bukan manipulasi. Itu bagian dari kerja mencari terang.
Ady kemudian membawa-bawa isu personal yang, jujur saja, agak lucu dan menggelikan. Ia menulis bahwa salah satu wartawan yang memberitakan penangkapannya adalah penguji UKW. Ia mengisyaratkan bahwa wartawan tersebut menulis berita dengan semangat hantam kromo.
Saya adalah penguji dalam UKW Madya yang diikutinya. Apakah saya wartawan yang dimaksud? Wallahu a’lam. Tapi perlu saya tegaskan: saya tidak pernah menulis satu huruf pun tentang kasus penangkapan dan penahanan Ady Indra Pawennari di media.
Berita tersebut memang tayang di media saya. Namun saat itu saya bahkan belum berada di struktur redaksi. Saya baru duduk di kursi pemimpin redaksi hampir sebulan belakangan, menggantikan kolega yang pindah menjadi pimred di media lain.
Saya sudah menghubungi mantan pimpinan redaksi, menanyakan apakah Ady pernah mengirimkan hak jawab atau rilis klarifikasi khusus ke media saya. Jawabannya tegas: tidak pernah ada.
Ady Indra Pawennari tidak hanya mengaburkan batas antara kritik dan fitnah, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem kompetensi wartawan itu sendiri.
Pers dan Polisi: Bukan Hubungan Saling Menjinakkan
Relasi ideal antara pers dan polisi bukan hubungan saling menjinakkan. Polisi tidak boleh menjadikan media sebagai corong satu arah. Pers tidak boleh menempatkan institusi hukum sebagai target empuk demi trafik.
Dalam teori klasik jurnalisme, keberimbangan (balance) dan verifikasi (verification) memang kunci. Tapi apakah seorang polisi wajib hukumnya menjawab pertanyaan wartawan? Tidak.
Tidak ada aturan absolut yang mewajibkan hal itu. Namun dalam negara demokrasi, ada prinsip akuntabilitas publik yang melekat pada institusi kepolisian.
Setiap penangkapan dan penahanan—apalagi menyangkut tokoh publik—layak diberitakan. Bahkan harus diberitakan, selama mengikuti kaidah etik dan hukum.
Pers tidak membutuhkan izin polisi untuk menulis berita. Yang dibutuhkan hanyalah ketelitian, nalar etik, dan kerangka verifikasi yang masuk akal.
Jika narasumber A menolak memberi keterangan, dan narasumber B (dari institusi sama) memberikan versi yang bisa diverifikasi secara faktual, maka kutipan itu sah dikonsumsi publik.
Jangan menuntut semua keterangan harus eksplisit, tertulis, dan disebut “resmi”—seakan-akan wartawan adalah juru bicara, bukan pencari kebenaran.
Relasi antara pers dan polisi sering berada di wilayah abu-abu. Di satu sisi, polisi membutuhkan media untuk ekspos kasus. Di sisi lain, pers memerlukan narasumber otoritatif agar berita tak jadi gosip.
Namun ketergantungan ini rawan disalahgunakan. Polisi bisa bermain diam ketika kasus menyangkut orang istimewa. Pers pun bisa tergoda menjilat agar tetap dapat rilis eksklusif.
Idealnya, hubungan ini dijaga dalam tiga prinsip: independensi, keterbukaan, dan batas etik. Polisi tidak bisa membungkam informasi publik atas nama “tupoksi Humas.”
Jika jurnalis bisa membuktikan kebenaran materi, dan memperoleh kutipan yang kredibel, maka berita itu sah. Apalagi jika wartawan telah berupaya mengonfirmasi ke berbagai pihak, termasuk institusi hukum terkait.
Ady menyebut dirinya sebagai korban penipuan, bukan pelaku. Tapi berita yang ia protes, menyebutnya sebagai tersangka penipuan—sebuah fakta hukum pada saat berita ditulis.
Wartawan tidak sedang memvonis; wartawan hanya mencatat status hukum yang sedang berjalan. Ini wilayah publik, bukan wilayah main hati.
Pers bukan lembaga suci. Tapi pers yang bebas adalah syarat negara yang sehat. Kritik terhadap pers harus didasarkan pada prosedur, bukan dendam personal.
Kalau kita merasa dirugikan, ada mekanisme hak jawab, pengaduan ke Dewan Pers, hingga jalur hukum. Saya percaya Ady Indra Pawennari masih memiliki hak untuk membela diri.
Tapi pembelaan itu harus dilakukan secara benar: mengirimkan klarifikasi ke redaksi, bukan menyerang individu yang nyata-nyata tidak pernah menulis berita tentang dia.
Doa saya yang baik-baik untuk Puang Ady. Silakan mengirim rilis. Mau duduk sambil ngopi pun boleh. Kali ini saya yang traktir…
Ramon Damora,
Wartawan, Mantan Ketua PWI Kepri 2 Periode, Mantan Ketua Dewan Kehormatan PWI Kepri, Mantan Ketua Departemen Budaya PWI Pusat, Peraih Pers Card Number One (PCNO) PWI Pusat, Penguji UKW PWI-Dewan Pers sejak 2017 sampai Sekarang, Kini Ketua Dewan Pakar PWI Kepri.