![]() |
Potret kondisi pulau Citlim. Perbukitan dikepras untuk bisnis tambang pasir. (Foto: Dok untuk ESNews) |
KARIMUN | ESNews - Aktivitas penambangan bukit di Pulau Citlim, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau menggila. Bagaimana tidak, kondisi perbukitan di Pulau kecil ini nyaris rata hingga alami kerusakan ekosistem yang parah.
Selain merusak ekosistem laut, adapun dampak dari aktivitas ilegal ini dinilai mengganggu mata pencarian masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan mengingat penambangan dilakukan di wilayah sempadan pantai.
Informasi yang diperoleh wartawan, 23 kilometer persegi luasan Pulau kecil ini diduga di exploitasi sejak tahun 2018 silam hingga sekarang. Dilaporkan, sedikitnya ada tiga perusahaan melakukan aktivitas tambang di Pulau tersebut. Salah satunya adalah PT. JPS yang dikelolah oleh seorang pria berinisial JK.
Berdasarkan sumber wartawan, adapun aktivitas penambangan bukit ini menghasilkan material berupa Pasir setelah melewati proses beberapa tahap.
"Proses awalnya, dinding perbukitan itu dimulai dengan pengeprasan. Ketika tahap pengeprasan dinding bukit bakal rontok dan selanjutnya masuk proses screening atau penyaringan untuk proses pemisahan batu dan pasir. Setelah itu material Pasir siap dijual," ungkap sumber wartawan, Senin (23/6/2025).
Untuk lokasi yang dikelolah PT. JPS sendiri, ia menyebut dalam kurun waktu 1 bulan dapat mengeluarkan material pasir sebanyak 20-40 ribu kubik pasir dengan harga jual per kubil senilai Rp260 ribu.
Tak main-main, tentu dengan puluhan ribu kubik yang dihasilkan dari aktivitas tambang itu, perbulannya perusahaan tersebut dapat meraup omset milyaran rupiah.
Untuk mencapai target itu, PT. JPS sendiri mengoperasikan armada alat beratnya di lokasi sebanyak 8 unit dan 20 unit mobil Dum Truk. Sementara market pemasaran material pasir hasil tambang dari pulau itu dikomersilkan ke Anambas, Bintan hingga keluar ke beberapa daerah.
Hasil Sidak KKP, Ditemukan Kerusakan Ekosistem dan Tidak Kantongi Izin KKPRL
Dikutip dari siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pulau Citlim dengan luas 22,94 kilometer persegi masuk dalam kategori pulau sangat kecil karena memiliki luasan dibawah 100 kilometer persegi.
“Kegiatan yang sifatnya eksploitatif dan mengubah bentang alam tidak boleh dilakukan karena akan berdampak pada ekosistem laut disekitarnya,” ungkap Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ahmad Aris pasca sidak ke lokasi.
Saat sidak di Pulau Citlim, kata dia, tim menemukan satu perusahaan pemilik IUP yang masih aktif melakukan penambangan pasir sementara dua perusahaan lain sudah tidak beroperasi karena habis masa IUP-nya.
KKP juga menemukan kerusakan yang masif pada lokasi penerbitan IUP, yang berpotensi mengganggu ekosistem pesisir Pulau Citlim mengingat penambangan dilakukan di wilayah sempadan pantai.
Namun demikian, perusahaan tersebut belum sepenuhnya memenuhi seluruh kewajiban perizinan. KKP mengungkapkan bahwa perusahaan itu ternyata belum mengantongi rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari KKP, yang merupakan syarat wajib bagi setiap pelaku usaha tambang yang beroperasi di wilayah pesisir, terlebih lagi di pulau-pulau kecil seperti Pulau Citlim.
“Sampai saat ini, pelaku usaha belum pernah melakukan pengurusan perizinan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil terhadap KKP,” tegas Ahmad Aris, Direktur Pengelolaan Ruang Laut KKP.
Dengan belum adanya rekomendasi KKPRL, maka secara hukum, perusahaan tersebut belum memenuhi kelengkapan perizinan secara menyeluruh. Hal ini membuka potensi adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan, termasuk kemungkinan sanksi administrasi hingga pencabutan izin jika terbukti melakukan kegiatan tanpa izin lengkap dan merusak lingkungan. (Red)
Selain merusak ekosistem laut, adapun dampak dari aktivitas ilegal ini dinilai mengganggu mata pencarian masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan mengingat penambangan dilakukan di wilayah sempadan pantai.
Informasi yang diperoleh wartawan, 23 kilometer persegi luasan Pulau kecil ini diduga di exploitasi sejak tahun 2018 silam hingga sekarang. Dilaporkan, sedikitnya ada tiga perusahaan melakukan aktivitas tambang di Pulau tersebut. Salah satunya adalah PT. JPS yang dikelolah oleh seorang pria berinisial JK.
Berdasarkan sumber wartawan, adapun aktivitas penambangan bukit ini menghasilkan material berupa Pasir setelah melewati proses beberapa tahap.
"Proses awalnya, dinding perbukitan itu dimulai dengan pengeprasan. Ketika tahap pengeprasan dinding bukit bakal rontok dan selanjutnya masuk proses screening atau penyaringan untuk proses pemisahan batu dan pasir. Setelah itu material Pasir siap dijual," ungkap sumber wartawan, Senin (23/6/2025).
Untuk lokasi yang dikelolah PT. JPS sendiri, ia menyebut dalam kurun waktu 1 bulan dapat mengeluarkan material pasir sebanyak 20-40 ribu kubik pasir dengan harga jual per kubil senilai Rp260 ribu.
Tak main-main, tentu dengan puluhan ribu kubik yang dihasilkan dari aktivitas tambang itu, perbulannya perusahaan tersebut dapat meraup omset milyaran rupiah.
Untuk mencapai target itu, PT. JPS sendiri mengoperasikan armada alat beratnya di lokasi sebanyak 8 unit dan 20 unit mobil Dum Truk. Sementara market pemasaran material pasir hasil tambang dari pulau itu dikomersilkan ke Anambas, Bintan hingga keluar ke beberapa daerah.
Hasil Sidak KKP, Ditemukan Kerusakan Ekosistem dan Tidak Kantongi Izin KKPRL
Dikutip dari siaran pers Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pulau Citlim dengan luas 22,94 kilometer persegi masuk dalam kategori pulau sangat kecil karena memiliki luasan dibawah 100 kilometer persegi.
“Kegiatan yang sifatnya eksploitatif dan mengubah bentang alam tidak boleh dilakukan karena akan berdampak pada ekosistem laut disekitarnya,” ungkap Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Ahmad Aris pasca sidak ke lokasi.
Saat sidak di Pulau Citlim, kata dia, tim menemukan satu perusahaan pemilik IUP yang masih aktif melakukan penambangan pasir sementara dua perusahaan lain sudah tidak beroperasi karena habis masa IUP-nya.
KKP juga menemukan kerusakan yang masif pada lokasi penerbitan IUP, yang berpotensi mengganggu ekosistem pesisir Pulau Citlim mengingat penambangan dilakukan di wilayah sempadan pantai.
Namun demikian, perusahaan tersebut belum sepenuhnya memenuhi seluruh kewajiban perizinan. KKP mengungkapkan bahwa perusahaan itu ternyata belum mengantongi rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari KKP, yang merupakan syarat wajib bagi setiap pelaku usaha tambang yang beroperasi di wilayah pesisir, terlebih lagi di pulau-pulau kecil seperti Pulau Citlim.
“Sampai saat ini, pelaku usaha belum pernah melakukan pengurusan perizinan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil terhadap KKP,” tegas Ahmad Aris, Direktur Pengelolaan Ruang Laut KKP.
Dengan belum adanya rekomendasi KKPRL, maka secara hukum, perusahaan tersebut belum memenuhi kelengkapan perizinan secara menyeluruh. Hal ini membuka potensi adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan, termasuk kemungkinan sanksi administrasi hingga pencabutan izin jika terbukti melakukan kegiatan tanpa izin lengkap dan merusak lingkungan. (Red)